Tarik Balik.
“Kamu tidak perlu minta maaf. Ini masa depan mu juga, itu yang harus kamu penting kan”
Walaupun sensei ku berbicara menggunakan bahasa Inggris dengan bersusah payah, tapi aku mendapat kan inti dari ucapan nya.
Ya, kurang lebih seperti itu.
Aku tidak berekspetasi kalau kuisioner saat itu akan berimbas ke banyak hal.
Kantor mahasiswa asing di universitas ku benar benar menseriusi jawaban ku.
Padahal aku menjawab “akan saya pertimbangkan”
Aku dikontak bahkan kantor nya sampai kontak dengan sensei ku.
Bahkan sensei yang mengkontak aku pertama kali, bukan aku.
Kalau aku memang benar-benar serius dengan doktoral, aku harusnya yang kontak terlebih dahulu kan?
Yah emang sebenarnya aku sempat ditawarkan, mungkin aku dengan sifat “tidak mau orang tersakiti” seakan akan memberikan impresi kalau aku ingin berkata “iya.”
Maka dari itu sensei seakan akan berpikir “oh, orang ini benar benar ingin lanjut”
Hufffff.
Aku mikir apa yang saat itu?
Secara buta aku tiba tiba banting setir ke arah pendidikan.
Impresi ya?
Atau… memperpanjang masa zona nyaman?
Iya, seperti yang aku ceritakan sebelumnya, aku terlalu tergiur dengan kenaikan uang saku jika aku lanjut ke doktoral.
Dengan iming-iming akan ada kemungkinan besar untuk diterima, aku seakan mengesampingkan edukasi untuk finansial.
Aku ini apa…
Kalau orang tua ku tau maksud asli dari lanjut studi ku, mungkin aku akan dimarahin habis-habisan.
Oh, tunggu.
Atau mungkin tidak?
Aku ingat betul mama dan papa ku selalu berujung ke masalah keuangan ketika kita berbicara sesuatu.
Jarang sekali kita berbicara dari hati ke hati terkait masalah yang tidak bersifat keuangan.
Sekalipun kita bicara, hampir tidak ada nyambung sama sekali.
Bahkan aku lebih nyambung bicara hati ke hati dengan adik adik ku.
Apakah ini penyebab awal nya? Apa kah ini yang bisa aku tarik balik agar aku bisa lebih jadi pribadi yang lebih benar ke depan nya?
Oke, aku menemukan salah satu jalan keluar.
Tapi sepertinya waktu nya kurang tepat, keluarga sedang berlibur ke Bandung sekarang.
Aku tidak mau merusak suasana dahulu.
Aku harus satu per satu berbicara dengan papa dan mama ku.
Ngomong-ngomong.
Melebar sekali ya?
Tapi dari percakapan ku dengan sensei tadi, akhirnya aku menemukan salah satu akar permasalahan ku.
Satu lagi.
Iya, uang.
Aku rakus.
Dan aku selalu cari aman.
Atau mungkin.
Aku iri dengan teman teman ku.
Teman teman ku yang sudah sukses bekerja di lapangan.
Teman teman ku yang banting setir dari jurusan awal menjadi pribadi yang lebih sukses.
Teman teman ku yang sudah menjalin hubungan resmi dengan pasangan nya.
Aku seakan akan ingin “merasa lebih baik dari mereka”.
Aku ingin punya uang yang lebih banyak dari mereka, aku ingin hubungan yang lebih harmonis dari mereka, aku ingin punya jabatan yang lebih tinggi dari mereka…
Atau… aku ingin terlihat lebih bahagia dari mereka.
Padahal… jika aku tarik balik lagi dari seminggu ke belakang.
Aku ingin menjadi aku kan?
Kenapa harus ada perbandingan orang lain, jika begitu?
Jika aku tetap fokus untuk menjadi aku, dengan apa yang aku tetapkan, dengan apa yang sudah aku rencana kan dari awal…
Bisa dibilang aku sudah menyicil perjalanan menjadi aku, bukan?
Iya… aku harus membuang jauh jauh pikiran itu.
Mungkin awal nya akan sulit, aku pasti akan iri jika teman teman ku memamerkan jabatan mereka di LinkedIn, teman teman ku mengirim foto akad nikah di story Instagram nya, teman teman ku yang memiliki pendidikan yang lebih prestis.
Tapi selalu ada yang namanya langkah bayi, satu langkah menuju perubahan.
Apa aku bersemedi dari media sosial dulu ya?
Tapi ini juga platform media sosial, bukan?
Ah tidak, aku menganggap ini dunia ku, aku merasa sangat nyaman dan asing di tempat ini.
Aku akan terus bercerita, sebagai jejak digital dan melihat bagaimana aku berkembang sampai nanti di masa depan.
Aku mau cerita apa ya besok?
Apa aku cerita pengalaman kerja ku sebelum kuliah?
Nagoya, 17 November 2021
00:18