Suara dari Luar.
Tersesat.
Hilang.
Buntu.
Seakan akan di jalan yang tidak berujung, bercabang dan tidak tahu yang mana yang menjadi tujuan.
Di sepanjang jalan, aku menemukan banyak orang orang yang mungkin bisa menolong ku.
Ku takut untuk bertanya, “ kamu harus menemukan jalan mu sendiri” kata nya.
Kalau aku bertanya ke orang-orang itu, apakah artinya aku tidak menemukan jalan ku sendiri?
Tapi… aku tersesat, berputar putar di jalan ini tidak akan menyelesaikan masalah.
Aku paksa untuk melawan ketakutan ku.
“Maaf, kalau aku mau ke sana, aku harus lewat jalan yang mana?”
Mereka mau untuk menjawab, namun orang-orang ini selalu balik bertanya.
“Kenapa kamu mau ke sana?”
Aku tidak perlu memperkeruh suasana, sehingga aku hanya sekilas menjawab.
“Aku mau menemukan aku, di sana.”
Mungkin orang-orang ini menganggap aku aneh, namun karena orang-orang ini sepertinya sangat tahu dengan keadaan ku, mereka mencoba membantu ku untuk pergi “ke tempat itu”.
Mereka pun menjawab.
“Kamu harus lebih peduli dengan lingkungan yang ada di sekitar perjalanan mu.”
“Jangan terlihat sok kuat di hadapan orang-orang di sepanjang perjalanan ini. Tangisan bukan lah sebuah aib.”
“Mengatur diri kamu sepanjang perjalanan. Terkadang ada waktu nya untuk istirahat, terkadang ada waktu nya untuk berjalan terus. Semua tidak bisa ditumpuk dalam satu waktu.”
“Tetap rendah hati, ingat orang-orang terdekat yang telah menemani kamu sejak lahir. Orang tua, adik, kakak, relasi terdekat. Dasarnya, mereka orang-orang yang ‘membesarkanmu’. “
“Memberikan tanpa menambahkan rasa peduli dalam pemberian itu, sama saja omong kosong.”
Banyak suara suara masuk sepanjang perjalanan.
Aku masih bingung, apakah bantuan ini bukan yang aku cari?
“Tapi, jika aku mendengar apa yang kalian katakan, bukan kah ini artinya aku tidak menemukan jawaban ku sendiri? Ini kan, jawaban dari kalian semua?”
Beberapa orang bingung, seakan akan berkata, “Ini orang sudah aku kasih bantuan kok masih bertanya lagi?”
Iya, memang kelihatan aneh, seorang yang asing, bertanya pertanyaan yang dalam seperti itu.
Namun, ada orang yang masih mengerti dan memberikan sebuah saran.
“Ya, pada akhirnya, kamu yang menentukan jawaban itu.”
“Ketika kamu melakukan sesuatu, walaupun kamu menampung saran-saran dari orang yang kamu tanyakan, pada akhirnya ujung nya ada di kamu seorang.”
“Maka, kalau kamu melakukan sesuatu berdasarkan saran seseorang, itu adalah apa yang kamu lakukan, bukan orang itu lakukan. Karena, itu pilihan mu.”
Aku menemukan sesuatu dari percakapan ku dengan orang-orang ini.
Sebuah benang merah dari semua petunjuk untuk perjalanan ini.
Walaupun aku ragu, apakah benang merah ini menggambarkan sebuah “obat diri”.
Peduli.
Iya, jelas ini sebuah kata kerja yang menggambarkan sebuah kerja dari orang terhadap orang lain.
Namun, ada satu hal yang harus diingat.
Untuk peduli ke orang lain, orang pertama yang harus dipedulikan adalah diri sendiri.
Apakah aku perlu berkorban untuk peduli ke orang lain dengan mengorbankan kepedulian ku terhadap diri sendiri?
Iya, sepertinya aku tidak perlu takut jika aku menjadikan suara dari luar ini menjadi alasan ku mencapai tujuan itu.
Aku tidak perlu menelan mentah mentah apa yang orang-orang katakan, aku lah yang menyaring perkataan mereka.
Akulah yang menentukan aku.
Ini hanya perkara bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri, hati yang sedang terluka, sedang bimbang dan sedang tidak tahu mau ke mana.
Sehingga, ketika aku sudah bisa peduli dengan diri sendiri, aku bisa peduli dengan orang lain.
Satu per satu anak tangga, sebuah langkah bayi.
Sebuah langkah kecil, menuju pencapaian yang besar.
Dan juga.
Percuma kalau aku hanya menyampaikan sesuatu di atas kertas.
Jika akhirnya tidak aku lakukan juga.
Namun, apa salahnya berencana.
Daripada tidak sama sekali?
Sebuah peta pikiran yang akan dilakukan di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Nagoya, 12 November 2021.
12:48